6. Folklor Warak Ngendok
Sketsa Warak Ngendog oleh Djawahir Muhamad
Berikut ini adalah uraian tentang Folklor Warang Ngendog yang ditulis oleh Muh. Ariffudin Islam yang merupakan dosen DKV Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Cerita rakyat merupakan salah satu kategori dalam folklor, menjadi bagian dari fenomena budaya tiap daerah di suatu bangsa yang eksistensinya terus dibuktikan ketika melintasi peradaban jaman terbaru. Transformasi di dalamnya pun menjadi wujud nyata bahwa cerita rakyat menempati fungsinya secara nyata . Namun demikian, adakalanya anggota kolektif cerita rakyat tertentu merasa bahwa cerita yang diwariskan oleh nenek moyangnya dan ditumbuhkembangkan ke generasi yang lebih muda merupakan cerita milik bangsanya. Di sisi lain, masyarakat tertentu terus menelusuri asal-usul cerita yang dirasakan sudah menjadi hak miliknya secara utuh, namun kenyataan lain menunjukkan bahwa di wilayah lain yang dipisahkan oleh lautan luas dan benua, sering kali terdapat cerita ataupun benda yang dianggap sebagai warisan budaya yang nyaris serupa, tumbuh dan berkembang pula dengan pengakuan kepemilikannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, di Semarang telah berkembang sebuah budaya yang menjadi salah satu bagian dari unsur Folklor, yang bernama Warak Ngendok. Warak ngendok (bahasa Jawa: warak ngendhog) merupakan mainan yang selalu dikaitkan dengan perayaan dugderan, suatu festival di Semarang yang diadakan di awal bulan Ramadan untuk memeriahkannya, sekaligus sebagai upaya dakwah . Selanjutnya juga disebutkan bahwa Warak ngendok berwujud makhluk berkaki empat, menyerupai macan/singa tetapi langsing. Tubuhnya diberi kertas berwarna-warni dan pada kakinya diberi roda supaya dapat ditarik . Warak Ngendok telah ada dan dikenal oleh masyarakat Semarang sejak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Secara tidak langsung, berbagai macam unsur latar belakang, ras, tingkat masyarakat, maupun agama terlibat dalam perayaan budaya ini. Dengan keterlibatan berbagai macam unsur tersebut, diduga dapat mempengaruhi eksistensi kebudayaan ini. Sehingga dimungkinkan timbul pengakuan dari salah satu kelompok masyarakat yang merasa paling berhak memiliki dan melestarikan budaya tersebut.
Brunvand menyebutkan bahwa jenis Folklor memiliki cakupan yang sangat banyak. Dari pembagian jenis tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lingkup yang lebih besar yang disebut bentuk folklor . Selanjutnya, untuk mempermudah pengelompokan, folklor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: foklor lisan (verbal folklore), folkor sebagain lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Tiga wujud folklor ini dapat menampakkan dirinya ke dalam tiga wujud nyata; (1) bentuk oral dan verbal (mentifacts), bisa berupa ujaran rakyat, julukan, dialek, ungkapan dan kalimat tradisional, pertanyaan rakyat, mite, legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya (2) kinesiologik (berupa kebiasaan dan sosiofacts), yang mecakup folklor lisan dan bukan lisan, seperti kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta, dan permainan rakyat, (3) material (artefacts) berupa seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain sebagainya yang hanya menyangkut bentuk fisik.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Warak Ngendok termasuk kategori Foklor Sebagian Lisan. Termasuk dalam kategori tersebut dikarenakan model pewarisannya dilakukan secara lisan, dan diwujudkan dalam bentuk fisik yang berupa Warak. Kesenian ini juga termasuk dalam kebudayaan tangible (sesuatu yang bisa dilihat dan diraba keberadaannya).
Bila dilihat dari awal mula keberadaannya, Warak Ngendok merupakan kebudayaan yang selalu berkembang dari masa ke masa. Keberadaan Warak Ngendok, tidak akan pernah lepas dari kegiatan kesenian yang bernama Dugderan. Bermula dari peringatan keagamaan, Dugderan mulai dikembangkan Adipati Semarang, R.M. Tumenggung Aryo Purbaningrat pada abad ke-19. Terciptanya Warak Ngendok pada saat itu digunakan sebagai simbol persatuan antar etnis yang saling berseteru. Hingga kemudian setiap kali perayaan ritual Dugderan selalu diikuti dengan mengarak Warak ngendok. Ada nilai rekonsiliasi yang amat kental dalam Warak ngendok. Pengambilan unsur-unsur kebudayaan China, Jawa, dan Islam merupakan wujud akomodasi terhadap tiap kebudayaan itu. Hingga saat ini, Dugderan dan warak Ngendok bukan hanya acara ritual yang di miliki agama tertentu (Islam), namun telah berkembang menjadi agenda dan kegiatan rutin yang didukung dan dinikmati oleh masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat Semarang.
Keberadaan bentuk Warak Ngendok saat ini telah sangat beragam dan bahkan banyak yang melenceng dari pakem yang ada. Oleh karena itu, demi menjaga keaslian bentuk Warak Ngendok, hendaklah masyarakat peduli untuk mencari dan mengetahui jati diri bentuk Warak Ngendok yang asli. Pemerintah juga diharapkan turut berperan aktif dalam mensosialisasikan hal ini.
Brunvand menyebutkan bahwa jenis Folklor memiliki cakupan yang sangat banyak. Dari pembagian jenis tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lingkup yang lebih besar yang disebut bentuk folklor . Selanjutnya, untuk mempermudah pengelompokan, folklor secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: foklor lisan (verbal folklore), folkor sebagain lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Tiga wujud folklor ini dapat menampakkan dirinya ke dalam tiga wujud nyata; (1) bentuk oral dan verbal (mentifacts), bisa berupa ujaran rakyat, julukan, dialek, ungkapan dan kalimat tradisional, pertanyaan rakyat, mite, legenda, nyanyian rakyat, dan sebagainya (2) kinesiologik (berupa kebiasaan dan sosiofacts), yang mecakup folklor lisan dan bukan lisan, seperti kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta, dan permainan rakyat, (3) material (artefacts) berupa seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain sebagainya yang hanya menyangkut bentuk fisik.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Warak Ngendok termasuk kategori Foklor Sebagian Lisan. Termasuk dalam kategori tersebut dikarenakan model pewarisannya dilakukan secara lisan, dan diwujudkan dalam bentuk fisik yang berupa Warak. Kesenian ini juga termasuk dalam kebudayaan tangible (sesuatu yang bisa dilihat dan diraba keberadaannya).
Bila dilihat dari awal mula keberadaannya, Warak Ngendok merupakan kebudayaan yang selalu berkembang dari masa ke masa. Keberadaan Warak Ngendok, tidak akan pernah lepas dari kegiatan kesenian yang bernama Dugderan. Bermula dari peringatan keagamaan, Dugderan mulai dikembangkan Adipati Semarang, R.M. Tumenggung Aryo Purbaningrat pada abad ke-19. Terciptanya Warak Ngendok pada saat itu digunakan sebagai simbol persatuan antar etnis yang saling berseteru. Hingga kemudian setiap kali perayaan ritual Dugderan selalu diikuti dengan mengarak Warak ngendok. Ada nilai rekonsiliasi yang amat kental dalam Warak ngendok. Pengambilan unsur-unsur kebudayaan China, Jawa, dan Islam merupakan wujud akomodasi terhadap tiap kebudayaan itu. Hingga saat ini, Dugderan dan warak Ngendok bukan hanya acara ritual yang di miliki agama tertentu (Islam), namun telah berkembang menjadi agenda dan kegiatan rutin yang didukung dan dinikmati oleh masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat Semarang.
Keberadaan bentuk Warak Ngendok saat ini telah sangat beragam dan bahkan banyak yang melenceng dari pakem yang ada. Oleh karena itu, demi menjaga keaslian bentuk Warak Ngendok, hendaklah masyarakat peduli untuk mencari dan mengetahui jati diri bentuk Warak Ngendok yang asli. Pemerintah juga diharapkan turut berperan aktif dalam mensosialisasikan hal ini.
Comments
Post a Comment